Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menhukam Usulkan Pembebasan Napi Korupsi, ICW Bilang Tidak Logis



WuanjrotBray,-
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukam) Yasonna Laoly mengusulkan mengenai pembebasan 300 narapidana (napi) tindak pidana korupsi sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus COVID-19 di Lembaga Permasyarakatan. Menurut Yasonna keputusan usul tersebut dinilai dari kondisi lapas di Indonesia yang sudah melebihi kapasitas, sehingga rawan terhadap penyebaran virus corona.
Tak berhenti sampai di situ, Yasonna juga mengaatakan pembebasan tersebut bisa dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan.

Hal ini tentu saja mengundang berbagai tanggapan dari berbagai pihak terkait. Bahkan jelas-jelas memantik kontroversi dari para pegiat anti-korupsi.

Sebut saja salah satunya Ali Fikri, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, mengatakan "KPK berharap jika dilakukan revisi PP, tidak memberi kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat"

Ali Fikri juga menambahkan KPK juga tak pernah dimintai pendapat mengenai materi perubahan yang akan dimasukkan dalam revisi PP tersebut. Dia menilan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukan) tidak transparan dalam menjelaskan kategori penjara yang melebihi batas.

Pendapat lain disampaikan oleh Koordinator Divisi Korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, yang menilai bahwa langkah Yasonna itu tidak sejalan dengan semangat pemeberantasan korupsi. Bahkan menurut Donal, akal pikiran menteri dari kader PDIP itu tidak logis dan sangat kontroversial. Dia menganggap, Menhukam tidak memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary). Padahal korupsi tidak bisa disamakan dengan kejahatan lainnya. Hal seperti ini malah tidak membuat efek jera. Menurut Donal pada Kamis, 2 April 2020.

Lebih lanjut, dalam usulannya Yasonna menjelaskan secara rinci mengenai empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan intergrasi  memalui mekanisme revisi PP tersebut, yaitu :

  1. Kriteria Pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5-10 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Pada kriteria pertama ini diperkirakan ada 15.442 terpidana narkotika berdasarkan data sampai dengan hari Kamis, 2 April 2020 yang akan diberikan asimilasi di rumah
  2. Kriteria Kedua, narapidana kasus tindak pidana korupsi yang sudah berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Berdasarkan data ada 300 orang.
  3. Kriteria Ketiga, narapidana tindak pidana khusus yang mengidap penyakit kronis yang dinyatakan oleh rumah sakit pemerintah dan telah menjalani 2/3 masa tahanan.
  4. Kriteria Keempat, narapidana warga negara asing (WNA). Sebanyak 53 orang.
Poin-poin tersebutlah yang akan diajukan pada Rapat Terbatas Kabinet bersama Presiden Joko Widodo. 


Ide Yasonna mengenai pembebasan narapidana kasus korupsi pada kriteria dua, disambut baik oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, berbeda dengan rekannya, menurutnya hal tersebut dianggap sebagai respon adaptif terhadap pandemi COVID-19 mengingat kapasitas lembaga permasyarakatan kita lebih dari 300%, sehingga penerapan social distance untuk warga binaan tidak memungkinkan dalam kondisi saat ini, mereka sangat padat dan tidak memenuhi syarat pencegahan penularan virus COVID-19. Nurul Ghufron menuturkan, ini adalah murni kemanusiaan.

Ghufron juga meminta perubahan PP 99/2012 tetap mempertimbangkan asas keadilan dan aspek pemidanaan bagi napi, khususnya napi koruptor.

Jadi, bagaimana menurut anda?

Post a Comment for "Menhukam Usulkan Pembebasan Napi Korupsi, ICW Bilang Tidak Logis"